Subulussalam Aceh | Kin.Co.Id – Insiden pelarangan terhadap Oknum Kanit PPA Polres Subulussalam Aceh, yang telah melecehkan dan mengusir awak media jurnalistik wartawan dalam melaksanakan tugas peliputan aksi perdamaian antara korban dan tersangka dalam kasus pelecehan seksual anak di bawah umur di Polres Subulussalam Pada Tanggal 21 September 2025 memicu kecaman publik. Selain dinilai mencederai prinsip transparansi, tindakan tersebut berpotensi menempatkan pelaku — termasuk anggota Polri yang melakukan pelarangan pelecehan terhadap profesi jurnalistik wartawan — pada risiko sanksi pidana dan disiplin. Pada Hari Minggu 28 September 2025.
Dalam kejadian itu, Kanit PPA Polres Subulussalam Berinisial disebut E hanya mengizinkan pihak korban dan keluarga tersangka masuk ke ruang pertemuan, sementara awak media jurnalistik wartawan dilarang masuk dan sempat diusir dengan nada tinggi dari ruangan.
Langkah ini menimbulkan pertanyaan besar dari publik : apa yang ingin ditutupi dengan menutup akses media? & pengakuan dari Pihak Warga Masyarakat ada di mintain uang sebesar Rp. 35 Juta Rupiah, Oleh Kanit PPA Tersebut Berinisial E.
Pelanggaran Hukum Yang Nyata Oleh Aparat Penegak Hukum Terhadap Jurnalistik Wartawan
Kebijakan menutup akses wartawan dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan:
UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers — Pasal 5 menegaskan kemerdekaan pers; Pasal 18 ayat (1) mengancam pelaku penghalang kerja jurnalistik dengan ancaman pidana.
UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) — mewajibkan badan publik untuk membuka akses informasi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, serta memuat ketentuan pidana dan administratif terhadap pihak yang dengan sengaja menghambat akses informasi.
Ancaman Hukuman dan Sanksi
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan aturan internal Polri, tindakan menghalangi kerja jurnalistik dan menutup akses informasi publik dapat berakibat sebagai berikut:
Sanksi pidana menurut UU Pers
Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40/1999 mengatur bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja menghalangi pelaksanaan tugas jurnalistik dapat dipidana. Ancaman pidana yang tercantum dalam implementasi dan praktik hukum dapat mencapai pidana penjara hingga 2 (dua) tahun dan/atau denda (angka denda yang diberlakukan dalam putusan/interpretasi penerapan bervariasi sampai ratusan juta rupiah). Sanksi pidana ini dapat dikenakan terhadap individu yang terbukti melakukan penghalangan secara sengaja.
Sanksi berdasarkan UU KIP
Jika pelarangan tersebut berujung pada tindakan badan publik yang menutup akses informasi yang wajib diberikan, ketentuan pidana dan/atau administratif dalam UU No.14/2008 dapat dipertimbangkan — misalnya ancaman pidana kurungan dan/atau denda bagi pihak-pihak yang dengan sengaja tidak menyediakan atau tidak memberikan informasi publik yang wajib diumumkan.
Sanksi disiplin dan kode etik internal Polri
Anggota Polri yang melakukan tindakan di luar ketentuan dan melanggar tata tertib atau kode etik profesi dapat dikenai sanksi administrasi, kode etik profesi, dan tindakan disipliner sesuai aturan internal (Peraturan Pemerintah/Peraturan Polri terkait penegakan disiplin). Sanksi ini bisa berupa teguran, penurunan pangkat, mutasi, hingga pemecatan tergantung tingkat pelanggaran dan hasil pemeriksaan. Penjatuhan tindakan disiplin dilakukan sesuai mekanisme internal Polri.
Potensi gugatan dan tuntutan administratif/perdata
Selain pidana dan disipliner, korban (mis. organisasi pers atau wartawan) dapat menempuh upaya administratif (pengajuan aduan ke Komisi Informasi atau Ombudsman) dan/atau perdata apabila terdapat kerugian akibat penutupan akses informasi.
Dengan kata lain, pelarangan yang dilakukan aparat yang mengakibatkan penghalangan kerja jurnalistik tidak hanya melanggar prinsip transparansi — tetapi juga membuka kemungkinan konsekuensi hukum pidana, administratif, dan disipliner bagi oknum yang bertanggung jawab.
Kritik dari Praktisi Hukum dan Media
Praktisi Hukum sekaligus Pemimpin Redaksi Media Aktivis Indonesia & Ketua Umum Aliansi Cyber Pers Aktivis Indonesia, Bapak Herry Setiawan, S.H., menilai tindakan Kanit PPA sebagai bentuk pelecehan terhadap profesi Jurnalistik Wartawan, sebagai seorang Perwira Kepolisian tidak mencerminkan adab etika sopan santun yang lebih baik, sebagai pengayom dan pelayan masyarakat seharusnya tidak bersikap seperti itu.
“Sebagai anggota kepolisian, seharusnya memberi contoh yang baik, bukan justru menutup ruang bagi publik. Perdamaian dalam kasus ini menyangkut kepentingan masyarakat luas, publik berhak tahu,” tegas Herry.
Dukungan Organisasi Mahasiswa
Ketua HMI Cabang Subulussalam menyatakan:
“Larangan terhadap wartawan adalah tamparan keras bagi demokrasi kita. Pers adalah jantung informasi masyarakat. Jika pers dibungkam, masyarakat kehilangan haknya untuk tahu. Kami mahasiswa siap berdiri bersama pers dalam memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas publik.”
Perwakilan PMII Subulussalam menambahkan dukungan serupa dan menyerukan pengawalan terhadap kasus ini agar dapat ditindaklanjuti secara hukum dan administrasi.
Sikap dan Tuntutan
Berdasarkan fakta dan dasar hukum, kami menuntut:
Dilakukan investigasi independen terhadap tindakan Kanit PPA Polres Subulussalam yang menghalangi peliputan.
Jika terbukti melanggar hukum, pelaku dikenai proses hukum pidana sesuai UU Pers dan/atau UU KIP.
Dilakukan pemeriksaan internal oleh institusi Polri dan penjatuhan sanksi disipliner sesuai aturan bila ditemukan pelanggaran kode etik atau disiplin.
Peringatan dan komitmen terbuka dari jajaran Polres Subulussalam untuk memastikan keterbukaan informasi serta menghormati kebebasan pers ke depan.
Penutup
Transparansi dan kebebasan pers adalah tiang demokrasi. Setiap upaya pembungkaman terhadap pers bukan hanya melanggar hak publik untuk tahu, tetapi juga dapat berujung pada konsekuensi hukum serius bagi oknum yang melakukannya. Kami menyerukan agar kasus ini ditindaklanjuti secara hukum dan administratif demi tegaknya akuntabilitas publik.
Hidup Pers! Hidup Mahasiswa! Hidup Demokrasi!
Reporter : Raja Irfansyah Kaperwil Provinsi Aceh