Semarang | kin.co.id- Kasus dugaan pungutan liar (pungli) dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) kembali mencoreng citra pelayanan publik di Kota Semarang. Praktik terlarang ini mencuat di Kelurahan Sendangguwo, Kecamatan Tembalang, dan diduga telah merugikan puluhan warga dengan total kerugian mencapai Rp3,75 miliar.
Program PTSL, yang seharusnya mempermudah masyarakat dalam memperoleh sertifikat tanah secara gratis atau dengan biaya ringan, justru diduga menjadi lahan korupsi bagi oknum aparat.
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, biaya resmi PTSL di wilayah Jawa–Bali hanya Rp150.000 per bidang tanah. Namun, warga Sendangguwo mengaku dipungut hingga Rp1.250.000 per bidang, atau delapan kali lipat dari tarif yang seharusnya.
Modus pungli ini diduga telah berlangsung sejak 2019 hingga 2022, dengan dalih biaya tambahan untuk “kelancaran administrasi” dan “pengukuran lapangan”. Padahal, tidak ada dasar hukum yang membenarkan pungutan tersebut.
Sumber di lapangan menyebutkan bahwa praktik ilegal ini melibatkan sejumlah pihak, antara lain:
1. S dan A, panitia PTSL Kelurahan Sendangguwo.
2. AK, Lurah Sendangguwo saat itu, yang kini menjabat sebagai Lurah Sambirejo, Kecamatan Gayamsari.
3. K, mantan Camat Tembalang, yang kini menjabat sebagai anggota DPRD Kota Semarang dari Fraksi PDI Perjuangan.
Warga menduga pungli ini dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Beberapa warga mengaku mendapat tekanan agar tetap membayar jika ingin sertifikat tanah mereka segera diproses.
“Kami hanya ingin sertifikat tanah resmi, tapi malah diminta bayar lebih dari sejuta. Kalau tidak mau, prosesnya dipersulit. Kami sangat berharap aparat penegak hukum menindaklanjuti kasus ini,” ujar seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Secara hukum, tindakan pungli ini dapat dijerat dengan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang berbunyi:
“Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang memberikan sesuatu atau membayar dengan potongan, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta.”
Kasus dugaan pungli PTSL di Sendangguwo ini mencerminkan masalah integritas dalam birokrasi daerah. Pemerintah Kota Semarang dan aparat penegak hukum diharapkan segera melakukan penyelidikan mendalam, agar kepercayaan publik terhadap program nasional ini dapat dipulihkan dan keadilan bagi masyarakat kecil dapat ditegakkan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari pihak kelurahan, kecamatan, maupun dari pejabat yang disebut dalam laporan warga. Isu ini telah menjadi perhatian luas masyarakat karena menyangkut program nasional yang seharusnya berpihak pada rakyat kecil.
