Surabaya | Kin.Co.Id — Program bantuan sosial GAMIS (Gerakan Mengentaskan Masyarakat Miskin) yang digadang-gadang sebagai jaring pengaman sosial Pemerintah Kota Surabaya kembali menuai sorotan. Di Kelurahan Mojo, Kecamatan Gubeng, dugaan salah sasaran penerima bantuan mencuat ke permukaan. Ironisnya, sejumlah warga yang secara ekonomi tergolong mampu bahkan berkecukupan justru tercatat sebagai penerima bantuan, sementara keluarga miskin yang seharusnya berhak malah terabaikan.
Hasil penelusuran investigasi di lapangan menemukan fakta mencengangkan. Beberapa penerima GAMIS diketahui memiliki rumah permanen, kendaraan pribadi, hingga usaha yang berjalan stabil. Kondisi ini jelas bertolak belakang dengan kriteria penerima bantuan sosial yang ditetapkan pemerintah, yang seharusnya menyasar warga tidak mampu dan rentan secara ekonomi.
“Yang dapat bantuan justru orang punya. Kami yang benar-benar kesulitan malah tidak pernah terdata,” ungkap salah satu warga Mojo yang meminta identitasnya dirahasiakan. Keluhan serupa datang dari warga lain yang merasa pendataan dilakukan tidak transparan dan tertutup.
Sorotan tajam pun mengarah pada kinerja Kelurahan Mojo selaku ujung tombak pendataan, serta Dinas Sosial Kota Surabaya sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam verifikasi dan validasi data penerima bantuan. Pertanyaan mendasar pun mencuat: apakah pendataan dilakukan sesuai kondisi riil di lapangan, atau sekadar formalitas administratif?
Lebih jauh, kuat dugaan adanya pembiaran, kelalaian, bahkan potensi praktik nepotisme dalam proses pendataan. Jika benar orang-orang dekat aparat atau pihak tertentu lebih mudah masuk daftar penerima, maka ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan pengkhianatan terhadap tujuan bantuan sosial itu sendiri.
Hingga berita ini disusun, pihak Kelurahan Mojo dan Dinas Sosial Surabaya belum memberikan klarifikasi resmi atas dugaan tersebut. Sikap bungkam ini justru menambah kecurigaan publik dan memperkuat asumsi bahwa persoalan salah sasaran bukan hal baru, melainkan masalah yang terus berulang tanpa penyelesaian serius.
Masyarakat mendesak Wali Kota Surabaya dan Inspektorat untuk turun tangan melakukan audit menyeluruh, mengevaluasi data penerima GAMIS, serta menindak tegas oknum yang terbukti lalai atau bermain dalam pendataan. Bantuan sosial bukanlah hadiah, melainkan hak warga miskin yang harus dijaga dari penyimpangan.
Jika persoalan ini dibiarkan, maka GAMIS berpotensi berubah dari program pengentasan kemiskinan menjadi simbol kegagalan birokrasi dan ketidakadilan sosial di tengah masyarakat Surabaya.
