Sleman | Kin.Co.Id – 20 Juni 2025 Sekolah Air Hujan Banyu Bening yang terletak di Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta menjadi lokasi kunjungan penting dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), dalam rangka kegiatan monitoring dan evaluasi program pengurangan risiko bencana hidrometeorologi kering berbasis aktualisasi Gerakan Panen Air Hujan.
Kegiatan ini dihadiri langsung oleh Asisten Deputi Bidang Pengurangan Risiko Bencana, Andre Notohamijoyo, beserta jajaran. Kunjungan tersebut disambut hangat oleh pengelola sekolah, komunitas Banyu Bening, tokoh masyarakat, dan warga setempat.

Acara diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan, Indonesia Raya dan dilanjutkan penampilan seni budaya lokal berupa Tari Keluang Mas, dibawakan dengan penuh semangat oleh anak-anak Sanggar Banyu Bening, yang juga merupakan bagian dari Sekolah Air Hujan Banyu Bening. Tarian ini tak hanya menghibur, tetapi juga menyampaikan pesan kuat tentang semangat pelestarian alam dan budaya lokal.
Dalam sambutannya, Kepala Sekolah Air Hujan, Kamaludin menyampaikan bahwa gerakan ini berawal dari keresahan masyarakat setelah erupsi Merapi pada 2010–2011. “Keresahan itu ternyata bukan membawa kesedihan, tetapi justru menjadi awal kebahagiaan bagi kami, karena dari situlah gerakan konservasi air hujan ini lahir,” ungkapnya. Sejak tahun 2012, komunitas ini aktif mengembangkan sistem konservasi berbasis masyarakat, dimulai dari kawasan terdampak erosi di sisi barat Merapi hingga merambah perbatasan wilayah Jawa Tengah dan DIY.

Gerakan Banyu Bening tidak hanya menarik perhatian pemerintah daerah dan kementerian terkait, tetapi juga Presiden Republik Indonesia yang secara khusus mengunjungi lokasi ini pada tahun 2019. Kunjungan tersebut menjadi tonggak penting dalam pengakuan terhadap gerakan masyarakat akar rumput yang konsisten menyuarakan isu lingkungan.
Dalam sesi pemaparan, disampaikan pula bahwa air hujan memiliki potensi besar sebagai sumber air utama yang sehat dan berkualitas. Diskusi bersama akademisi, termasuk Prof. Agus Maryono dari UGM, menunjukkan bahwa kualitas air hujan yang dikelola dengan tepat dapat melebihi kualitas air dalam kemasan. “Tidak ada satu pun jenis air, bahkan yang dikemas sekalipun, yang mampu menandingi kualitas air hujan dari segi kemurniannya,” tegasnya.
Hal menarik lainnya adalah filosofi mendalam yang disampaikan oleh tim komunitas mengenai keberkahan air hujan. “Kalau kita membawa beban air 10 liter—lima di tangan kanan, lima di tangan kiri—dan berjalan sejauh 100 meter saja, kita akan lelah. Tapi bagaimana dengan triliunan ton air di langit yang digantung oleh kekuatan alam? Itulah yang membuat kami selalu merenung dan merasa bertanggung jawab,” ujar Kamaludin.

Kemenko PMK melalui surat resmi bernomor B.995/WB.02.00/6/2025 menegaskan bahwa kunjungan ini merupakan bagian dari upaya koordinasi dan pengendalian kegiatan pengurangan risiko bencana, khususnya kekeringan, di wilayah Kabupaten Sleman. Dalam kesempatan tersebut, Andre Notohamijoyo mengapresiasi inisiatif luar biasa dari komunitas lokal. Ia menekankan bahwa gerakan seperti Banyu Bening layak dijadikan model nasional karena mampu menjawab permasalahan krisis air dengan cara yang adaptif, inovatif, dan berbasis budaya.
“Sekolah Air Hujan ini bukan hanya tentang infrastruktur atau teknologi, tetapi tentang bagaimana membangun kesadaran, mengubah pola pikir, dan membentuk budaya baru dalam menghadapi krisis air,” ungkap Andre.
Acara ditutup dengan seruan penuh semangat yang menjadi ciri khas gerakan: “Salam Air Hujan, Berkah! Berkah! Berkah! Ngombe Banyu Udan, Berkah! Berkah! Berkah!”— sebuah yel-yel yang mencerminkan keyakinan mendalam bahwa air hujan bukan sekadar sumber kehidupan, tetapi juga sumber keberkahan.
Kunjungan ini menjadi bukti nyata bahwa sinergi antara pemerintah pusat dan komunitas lokal dapat menghadirkan solusi konkret dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan krisis air yang semakin kompleks.
Kontributor : Ainaya Nurfadila
Editor&publisher: mahmudi
