Bali | Kin.Co.Id – Hujan ekstrem melanda Bali sejak Selasa malam, 9 September 2025, dan memuncak pada Rabu (10/9), menyebabkan banjir besar serta longsor di banyak wilayah. Menurut laporan KBR dan BPBD Provinsi Bali, tercatat 163 titik banjir tersebar di Denpasar, Tabanan, Badung, Gianyar, Jembrana, dan Karangasem. BMKG mencatat curah hujan mencapai sekitar 380 milimeter dalam satu hari, jauh melampaui ambang batas normal, sehingga memicu luapan air di permukiman, banjir bandang, hingga kerusakan infrastruktur.
Dampak bencana ini sangat besar. Hingga 13 September 2025, BPBD Bali mencatat 18 orang meninggal dunia dan 5 orang masih hilang. Korban terbanyak berasal dari Denpasar, diikuti Gianyar, Jembrana, dan Badung. Selain korban jiwa, kerusakan juga meliputi ratusan rumah, kios, jembatan, serta fasilitas umum lainnya. Ribuan warga terpaksa mengungsi ke tempat darurat akibat rumah dan sarana publik rusak diterjang banjir dan lumpur.
Sejumlah faktor memperparah dampak banjir selain curah hujan ekstrem. Pemerintah menyoroti alih fungsi lahan di daerah aliran sungai (DAS), minimnya tutupan hutan, serta buruknya tata ruang dan sistem drainase. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan bahwa luas DAS yang berpohon di Bali sangat terbatas — dari puluhan ribu hektar, kini hanya sebagian kecil yang masih memiliki vegetasi cukup untuk meresap air hujan.
Dalam masa tanggap darurat, berbagai organisasi segera turun tangan. Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa bersama Aliansi Muslim Bali mendirikan Pos Hangat di Denpasar, menyediakan makanan dan minuman hangat, serta menyalurkan ribuan paket makanan siap saji ke titik-titik terdampak. Selain itu, Komunitas RAIN (Relawan Indonesia), Sekolah Air Hujan Banyu Bening, R-KomPAS (Rumah Komunitas Pecinta Alam Senusantara), Get Plastic, Yayasan Al Hikmah Joglo turut hadir memberikan dukungan. Mereka fokus menyalurkan logistik ramah lingkungan berupa makanan dan minuman hangat yang meminimalisir sampah plastik dan sebagai contoh utk edukasinya.
Yayasan Al Hikmah Joglo, yang berlokasi di Bali dan menjadi bagian dari jaringan Sekolah Air Hujan yang berpusat di Tempursari, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, juga berperan penting. Sekolah Air Hujan ini memiliki kapasitas penampungan air hujan hingga 17 ribu liter, yang kini dimanfaatkan untuk mendukung kebutuhan darurat di tengah bencana.
Pascabencana, pemerintah daerah bersama kementerian terkait menyiapkan langkah-langkah mitigasi jangka pendek dan panjang. Upaya jangka pendek meliputi normalisasi sungai, perbaikan drainase, serta pembersihan sampah yang menyumbat aliran air. Sementara itu, rencana jangka panjang mencakup evaluasi tata ruang, pembatasan alih fungsi lahan, dan moratorium pembangunan di kawasan rawan banjir.
Kehadiran berbagai komunitas dan jaringan relawan menunjukkan kuatnya semangat gotong royong dalam membantu penyintas banjir di Bali. Namun, bencana ini juga menjadi pengingat bahwa pengelolaan lingkungan, pemulihan hutan, serta pemanfaatan teknologi ramah lingkungan seperti penampungan air hujan sangat penting untuk mengurangi risiko bencana serupa di masa depan.
Kontributor : Ainaya Nurfadila
Editor&publisher: mahmudi